CINTA DALAM EMPAT BABAK

Agung Prasetyo
9 min readMay 5, 2020
Kissing The train

PERASAAN APA YANG PANTAS UNTUK BULAN JUNI?

“Perasaan apa yang pantas untuk bulan Juni?” Sebelum pertanyaan itu terlontar dari mulut manismu, hujan rintik-rintik telah membasahi bus ini sejak tengah malam tadi.

Semerbak tanah meruak mengungkap mozaik memori. Jalan ini, ada apa dengan jalan yang biasa aku lalui hari ini? aku mencoba memahami apa hubungan jalan ini dengan peristiwa-peristiwa dan memori masa lalu? Kadang, hanya dengan membayangkan sebuah jalan, ingatan kita terlempar ke berbagai momen dan peristiwa. Aku mencoba memahaminya, tapi apa yang perlu dipahami dari sebuah ingatan?

Kau masih duduk disampingku dan waktu sudah menunjukkan pukul 03.00. Jalan seakan tanpa batas terhampar di depan kita, penumpang tertidur lelap di temaram lampu bus tua yang kelelahan seolah-olah mereka akan tidur selama-lamanya.

Tetiba bus berhenti di sela gegas lalu-lintas dan kau bertanya “kau masih ingat persimpangan jalan ini?”

“ah ya, ini adalah persimpangan kita” kataku sembari mengerenyitkan dahiku yang sudah kerut.

“ah kau ini, mengapa mesti bersedih?, ini adalah persimpangan saat kau menabrakku waktu itu” katamu manis disela senyum.

“bukan itu maksudku, ya memang aku menabrakmu di sini, tetapi jalan sejarah dan melankolia itu rasanya memukulku hingga jatuh tanpa ampun seketika saat ku ingat persimpangan ini” gerutuku.

“dasar gombal, begitu saja melankolik, dasar philoginik” sanggahmu lagi dengan senyummu yang tak mampu aku bendung.

Hujan yang mengalir pada jendela kaca itu semakin nyata dari yang semestinya. Bus tua ini melanjutkan perjalanannya. Bayi-bayi menangis memecah sunyi, entah karena haus atau karena bising oleh suara reyot besi dan raungan mesin yang seharusnya sudah mangkat. Orang-orang tetap terlelap, sedangkan kau masih disampingku. Entah mengapa tetiba kau dan aku mulai bertanya “Benarkah jalan adalah ilusi ingatan-ingatan yang tak diinginkan? Dan hari akan semakin kelabu karena kau dan aku mengingatnya?”

Kau senyum tipis “tak diinginkan atau kau sebetulnya merindu?”

Aku mengangkat bahu “bagiku itu masalahnya”

Kita saling pandang, meletakkan tangan kita diantara sela kursi koyak entah berapa kepik yang pernah singgah disini. Kau bersandar di bahuku, mesra, semakin mesra.

Dan di luar sana, kabut semakin pekat, panorama malam, lelapnya dedaunan, pohon-pohon bak mengucap selamat datang (selamat atas apa?). dan Juni ini masih hujan rintik-rintik tak henti-henti.

Dan kau mulai bercerita soal hujan. Bahwa belakangan, cuaca semakin tak menentu, sepanjang tahun hujan turun, bapak dan mbokmu pusing tujuh keliling karena kemarau yang dinanti tak kunjung tiba. Lahan padi gagal panen, nyiur hamparan sawah berganti haru termangu oleh rintik hujan. Lalu suatu hari kalian duduk di serambi rumah; orang tuamu, Kau dan Zafran. Dia, yang kini menemani sisa hidupmu. Dan katamu kemudian, dari hamparan sawah, hujan semakin deras disertai kilat bersambung.

Zafranmu bertanya “apa menurutmu hujan telah mengutukku karena mencintaimu?”

“seharusnya begitu” katamu, “tapi apa yang paling menyesakkan daripada rindu?, aku rasa tujuh purnama pun tak sanggup menantikannya” sambungmu seraya diam.

Bus tua memasuki kota yang pernah kita lintasi berdua; lapak-lapak sunyi temaram, ATM, restoran, apotek, mural-mural picisan. Dan sepotong surat darimu yang masih aku genggam.

“Kau tau, aku tak perlu lagi menunggumu, mungkin karena kau tak pernah tau apa arti rindu, atau kau sudah lupa tentangku, menunggu janjimu disini” katamu lembut ditelingaku.

Jujur, aku tak tahu harus menanggapimu dengan apa. Ku rendahkan sandaranku, mencoba berpikir dan mendendang rindu pada kursi nomor 5, di sebelahmu ini. hujanpun semakin berjelaga, orang-orang masih saja terlelap.

Bus berhenti sejenak, menjemput penumpang yang berlindung dari hujan di depan toko itu. Seorang perempuan naik, dia sepertimu, senyummu, paras rindumu.

“Boleh saya duduk disini?” tanyanya.

“ini sudah kupesan” kataku,

“Tapi ini kosong” sanggahnya,

“Tidak! Ini sudah kupesan, kau mau bukti?” kataku sambil ku perlihatkan namamu tercantum di karcis itu.

“Tapi dia tak disampingmu, dan kau duduk sendiri”

“Tidak! aku tak sendiri, aku bersama kekasihku” jawabku

“Dasar sinting”

“Ini soal perasaan, kau takkan pernah mengerti”

Dan dia pun berlalu, duduk di depanku, disamping kondektur tua dan entah bercakap apa.

Sementara hujan masih turun deras, aku masih duduk kursi nomor lima bus ini, bersamamu, bersama suratmu.

  • Ku Tulis prosa ini bersama sajak “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono

PERJANJIAN ANTARA HUJAN KAU DAN KENANGAN

Ketika kau membaca tulisan ini, aku masih terpaku di bus tua ini bersama isak bayi, orang-orang yang terlelap dan bersama hujan bulan Juni yang tak kunjung henti.

Di luar sana, suara kumandang adzan subuh bertaut dari masjid ke masjid. Gulita mulai terusik oleh kokok ayam dan hiruk pikuk pedagang pasar yang mulai menekuni setapa harapan. Meskipun begitu bus reyot ini masih saja belum berhenti dan mataku masih saja belum terlelap.

Dan kau? Masih kau disampingku?

‘hai, bangun!, langit sudah pagi’ gumamku di telingamu.

‘bus ini belum berhenti, untuk apa aku membuka mataku’ gerutumu manja.

‘Kau betul’ kataku pasrah

Perjanjian apa yang menghubungkan kesunyian dan kebisingan? Kadangkala keduanya bersimfoni menyerupa sebuah ingatan tentang jalan, ceritera, kisah, mosaik monumental, atau kadangkala memaksa kita mengumpulkan teka-teki masa lalu menjadikannya sebuah puzzle kehidupan. Hal ini yang kurasa sekarang, dialog dini hari dan singsingan malu-malu fajar membawaku ke sebuah stasiun kereta di kota itu.

“Kau masih ingat saat aku pamit untuk ke kota waktu itu?” tanyaku padamu yang masih terlelap manja di sampingku.

“Apa yang tak kuingat dari dirimu?” tegasmu sambil memeluk erat lenganku.

“jujur saja, saat itu adalah salah satu saat yang paling aku inginkan” kataku

“karena kau akan meninggalkanku?” selamu parau.

“tentu bukan!, saat kau mengantarku pagi itu, saat kau berbaju ungu, bibirmu berbalut gincu, tanganmu menggengam erat, dan kau berkata lembut ‘selalu ingat aku.’ Tatapmu, langit yang mulai kuning abu-abu, mesin-mesin kereta yang menderu” kataku padamu.

Lalu kita terdiam, aku gagal menyusun kata dan mata lentikmu mulai menitikkan air mata.

Sedari tadi malam bus ini memutar entah berapa kali lagu kenangan, dan satu yang aku sukai surya tenggelam karya alm. Chrisye. sepertinya pun ada konvensi terselubung antara bunyi dan Ingatan. Aku tak memahami. namun seakan akanmereka bersekongkol. Diam-diam mendera, Menyerang syaraf degarku yang sedari tadi terlalu peka pada mesra suaramu .

“aku tak pernah melupakanmu barang sedetik, bagaimana bisa aku lupa jika separuh pikiranku tertinggal di dirimu”

‘gombal picisan’ selamu.

“terserah kau mau berpikir apa, aku tak berkabar bukan tanpa sebab, bagiku waktu yang tepat akan membawaku kembali kepadamu setelah jerih payahku terbayar lunas di kota, tapi apa yang terjadi dengan dirimu?”

Kau diam, aku diam, antara kita ada waktu yang terus bergerak.

Pagi sedikit-demi sedikit hadir, fajar seketika berganti terang. Orang-orang hilir mudik berlalu-lalang. Aku masih duduk di kursi №5 di sampingmu. Sejenak ku lepaskan mataku ke luar sana, mengingat jengkal demi jengkal sudut kota ini.

Ada detak yang tak berubah dari kota ini, meski pohon terganti gedung-gedung baru, becak berganti motor, namun kehangatan dari orang-orang yang ada tak pernah terganti. Keramahannya, kebahagiaan, gelora, rendah hati.

Akhirnya aku sampai di tujuanku, kotaku. “Apakah kau masih mesra disampingku?” aku turun di terminal ini, tanpamu, kisahmu, dan suratmu yang ku ikhlaskan tertidur mesra selamanya di kursi №5 bus itu.

HUJAN

Jika kau sedang syahdu dengan hujan, saat ini aku menceritakan padamu tentang rindu. Tapi Apa ada hubungannya? Ah bukankah kita suka menghubungkan yang tak terhubung, yang terhubung atau mungkin terhubung?

******************************************************

Saat itu hujan turun deras, derai-derai menebal jendela, angin bertalu-talu menghantarkan air jatuh tepat sasaran di depan sebuah toko dimana Kinanti meneduh. Tepat dihadapannya air mulai meninggi.

“aduh, sudah mulai banjir lagi rupanya, kapan sih Jayatantara enggak banjir?” gerutu tukang ojek yang sedari tadi belum mendapatkan penumpang.

“Jayatantra kayaknya udah dikutuk untuk menampung banjir deh” balas ketus teman si tukang ojek

“Bisa aja lu gong!”

Bagaimana dengan si gadis manis bernama manis Kinanti? Ia masih saja terpaku disana, entah menikmati atau malah menggerutu karena hujan. Namun yang pasti ia menanti suaminya yang tak kunjung datang.

Sedari tadi ia tak beranjak dari depan toko ‘Sandang Pangan Papan, Cinta’ toko tempatnya dulu bekerja sebelum menjadi seorang istri yang menemukannya di depan toko itu. Tepat tiga tahun yang lalu, toko di depan toko itu, sesosok laki-laki memintanya untuk menjadi pendamping hidup.

Tiga tahun kemudian, ia terdiam di toko itu, dengan gincu merah dibibirnya, rona pupur tampak luntur di pipinya, dan dress ungu manis yang menyelimuti tubuhnya yang manis.

Cinta selalu dimulai bunga, romantika dan bahagia, lantas dikutuk-sumpahi Eros*,

Sebulan terakhir curiga mulai mendera Kinanti, entah karena suami yang mulai jarang pulang, atau karena suami yang ia anggap berubah. Entahlah, tapi curiga itu semakin lama semakin tak tertahankan, seperti buncah api yang tak kuat menahan kerasnya guncangan gempa hati dan akhirnya meletus memuntahkan lahar-lahar air mata.

Nada bicara suaminya yang hambar tampak tak ada lagi sakura-sakura cinta bersemi, ia selalu kembali larut malam tanpa berkata sepatah kemana ia pergi, dan sepagi suaminya pergi dengan senyum masam di pipi.

“Apa aku sudah tidak lagi menarik?” tanyanya pada cermin bisu.

“Atau dia sudah memiliki wanita idaman lain?” tiba-tiba ia terisak, menitikkan setitik demi setitik air mata.

“akan ku cari kemana ia pergi malam nanti” putus Kinanti yang putus, memutuskan untuk mencari tahu kemana suaminya pergi.

Hari itu ia bangun lebih pagi dari biasanya, berhias lebih cantik dari biasanya, hanya untuk menyapa suaminya yang ternyata telah bangun lebih pagi dari Kinanti.

“Selamat pagi mas” sapanya manja.

“hmmm, kamu cantik bener hari ini, mau kemana?” heran sang suami.

Ia diam, suaminya diam, beku mematungkan suasana romantika pagi itu.

Hari-hari berlalu, selidik demi selidik ia simpulkan menjadi wasangka. Kini, ia tahu kemana suaminya pergi, simpulnya, suaminya selalu datang ke toko Sandang Pangan, Papan Cinta setiap malam menjelang pukul 20.15 dan mematung disana hingga pukul 22.00 tepat ketika toko itu tutup.

“rupanya suamiku sudah punya simpanan lain” sangka Kinanti pasrah.

“Baiklah, akan kutemui dia dan wanita yang sudah mengalihkan cintanya”

Ia bergegas setelah suaminya pamit untuk bekerja di kantor A, diam-diam ia ikut meninggalkan rumah dan meluncur menuju toko itu pas dengan dandanan yang menurutnya tercantik setelah sekian lama ia menikah.

“Aku sudah cantik hari ini, akan aku cari wanita cantik mana yang berhasil merebut hatinya” tanyanya dalam hati.

Hari itu langit mendung, hujan pertanda akan turun, tapi bukan romantika yang menyelimuti kinanti malam itu.

Hujan mengandung 3% air dan 99% kenangan, tapi tidak untuk Kinanti. Tiga tahun lalu suasana seperti biasanya, malam yang cukup panas dan lembab, angin nampak enggan, dan lalu lalang tak seromantik saat jatuh cinta. Tapi saat itu, lelaki yang kini menjadi suaminya melamarnya tepat pukul 20.15.

“mau enggak kamu kawin sama aku” tanya suaminya datar kala itu.

Hujan turun perlahan, kemudian deras, waktu menunjuk pukul 20.13, Kinanti terpaku di depan pintu toko itu menanti takdir, menanti suaminya yang memiliki simpanan lain.

“Apa yang berubah dariku?” tanya Badu pada dirinya sendiri.

“Atau Kinanti sudah tak lagi mencintaiku?”

Malam mulai menjelang, detak jantung tak berhenti berjalan melewati pukul 20.14, Badu duduk terpaku, menikmati hujan turun di samping toko Sandang, Pangan, Papan, CInta.

Ia merindukan istrinya yang lembut, genit dan tulus manja yang kini sudah entah dimakan apa hilang dan yang tersisa hanya hambar kata-kata cinta.

Sembari menikmati hujan, Badu terpaku, menikmati hujan, menitikkan air mata, merindukan Istrinya yang berubah di samping toko kala pertama cinta bersemi.

Kinanti berdiri terpaku dengan bibir bergincu di depan toko itu.

SENJA SORE ITU

Akan aku bacakan puisi ini untukmu, saat matahari tergesa kembali dan selimut malam bergegas bagai sang Ibu lembut menyelimuti sang anak yang enggan tidur. Saat semburat kunyit menyihir kesadaranku dan kala biru kuning beradu serupa lukisan penuh warna, abstrak dan indah.

Kinanti yang manis, ketika kau dengan puisi ini, aku masih disini, tersihir, terpaku, terdiam oleh senja protagonis yang bertanya tentang apa tujuan hidup kita.

Kinanti tersayang, ingin sekali ku bagikan senja ini lewat taburan kata-kata. Aku sambung huruf demi huruf, aku rangkai bait demi bait, tapi sedihnya, aku gagal. Apa yang bisa dilakukan oleh kata-kata? Bukankah kata kini telah bertebaran kata tanpa makna? Kata-kata dipaksa memahami manusia yang serba absurd, dijejali makna-makna yang jauh dari nyata, dirodi untuk menghasilkan pundi-pundi, yang akhirnya ia hilang, bertutur tanpa makna, hanya kebisingan yang memekakkan telinga.

Aku ingin duduk saja disini, berharap aku bisa mengabiskan sajak-sajak hingga akhirnya aku kenyang dan tertidur pulas di pangkuanmu. Mungkin saat ini jam di waktumu menunjukkan pukul 17.15 waktu wangsa bumi. Itu perkiraan ku lho, karena saat ini, aku tak punya waktu, aku adalah waktu, berhenti, tanpa detak, tanpa detik. Waktu di tempat aku duduk saat ini adalah fana, ia tak pernah hadir, tapi ia ada karena kata. Manusia butuh waktu untuk mecipta batas-batas dalam hidup; ada malam, ada pagi ada siang, ada sore, ada subuh, ada jam 00.00, ada jam 05.49, ada jam 17.15. Namun di tempat aku duduk saat ini, tak ada waktu. Lagipula untuk apa waktu saat kau sedang tersihir oleh semburat kekuning-kuningan itu. Aku menjadi detik yang terhenti oleh senja sore itu di tempat aku duduk.

Kinanti yang paras rupawan, ku harap kau tak mati iseng sendiri* disana saat kau mulai tersihir oleh deklamasi puisiku. Suatu hari kan ku ajak kau kesini tapi dengan dua syarat. Pertama kau harus menjadi aku, menjadi waktu kedua kau harus menghapus kata-kata termasuk puisi yang aku bacakan saat ini. bisa kau memenuhinya?

Kinanti yang ku cintai, Jika kau sudah sanggup, kirimkanlah sebait puisi untukku dan akan ku baca saat aku menjemputmu. Aku masih tetap disini, bersenandung bersama nyiur waktu sore itu.

--

--