Media Sosial dan Standar-Standar Baru di Hidup Saya

Agung Prasetyo
4 min readAug 16, 2021

Saya berkenalan dengan media sosial sejak 2008. Dulu waktu sekolah, guru TIK memperkenalkan saya sama yang namanya friendster. Saya masih ingat betul betapa senengnya saya waktu bisa ngetik ‘asl pls’

Hidup makin panjang dan teknologi medsos yang berubah membuat saya punya standar baru soal banyak hal. Mari saya telaah satu per satu.

Saya menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial sebagai sosok ekstrospektif. Saya melihat diri saya melalui kacamata dunia di luar diri saya; jika ada yang lebih menyedihkan dari hidup saya, lalu saya merasa iba sekaligus bersyukur kalau hidup saya lebih baik. Jika saya melihat orang lain lebih dari saya (punya mobil, bisa jalan-jalan, punya pacar/istri cantik, punya duit miliaran, punya tampang good-looking, dan punya-punya yang lain) saya merasa punya hak untuk sambat, iri, dengki bahkan iba terhadap diri sendiri.

Entah siapa yang memulai bahwa kebahagiaan harus dibandingkan di media sosial. Yang jelas, media sosial menjebak saya untuk membandingkan saya dengan dunia di luar saya. Mood lalu seakan-akan di setir oleh postingan di media sosial.

Apa yang terjadi jika saya tidak membuka medsos? Betul. Saya merasa ada yang kurang atau bahkan ada yang hilang. Saat mood jatuh, media sosial jadi dopamine menstimuli otak saya untuk bergembira dan bersyukur.sebaliknya, saat saya senang, saya jadi merasa punya kewajiban untuk membagikannya ke media sosial-sekecil apapun senangnya. Atau semisal saya memikirkan sesuatu apapun seperti sosial, politik, budaya, sampai mengapa makan nasi padang lebih enak kalo pakai tangan, saya merasa punya keharusan membagikannya di media sosial.

Mengapa kebahagiaan dimulai dari media sosial? Entahlah.

Di media sosial saya adalah seseorang yang istimewa. Saya merasa punya kewajiban harus menjadi ‘si paling’ Mulai dari si paling lucu dibanding udin sedunia, si paling pinter cetar membahana, si paling ada di skena, si paling bijaksana, dan di spektrum terjauh saya merasa wajib menjadi si paling menderita.

Menjadi si paling rupanya-rupanya menjebak saya ke dalam ironi yang jauh dari realita. Saya lah si penemu pertama dan dunia wajib tau. emang kalo saya menemukan sesuatu, berarti sayalah yang pertama tau dan yang lain belum?

Sayalah si manusia yang paling diberkahi Tuhan sehingga saya wajib menginspirasi dunia tentang betapa bahagiannya saya hari ini. Emang kalau saya bahagia itu berarti sayalah yang paling bahagia dan lain enggak?

Kalau ditimpa musibah, saya wajib menjadi yang paling sedih di dunia sehingga dunia perlu tahu kalau hidup mereka tidaklah semengenaskan hidup saya. Emang kalau saya sedih, sayalah manusia yang paling patut dikasianin di dunia dan yang lain enggak?

Entahlah, saya penasaran, sejak kapan kita punya kewajiban menjadi si paling istimewa di sosial media.

Sama halnya dengan cara saya memandang diri sendiri dan cara saya menampilkan identitas saya ke dunia luar. Refleksi diri saya makin terbawa arus menjadi refleksi yang harus sesuai media sosial.

Kalau algoritma media sosial menampilkan tren kerja berdasarkan passion, maka refleksi diri saya adalah seorang yang bekerja dengan passion (meskipun enggak menghasilkan duit). Kalau media sosial sedang hype naik gunung, refleksi diri saya berubah menjadi si anak gunung penikmat sajak dan senja. Dan kalau media sosial sedang riuh ramai soal berbagi dan berdonasi, refleksi diri saya adalah si sosok yang dermawan.

Rasa-rasanya, makin kesini navigasi atas refleksi diri saya tergantung arah angin yang ditentukan oleh media sosial, meski pada dasarnya, refleksi diri adalah bagaimana saya melihat diri saya seapa-adanya tanpa harus ada validasi dari orang lain. Tapi apa bisa di dunia serba medsos begini, saya menjadi seapa-adanya?

Siapa pula yang pertama kali mengharuskan bahwa kita harus mengikuti perkembangan di media sosial untuk tau siapa diri kita? Entahlah

Tapi di media sosial juga lah saya mendapatkan pengetahuan baru, mendapatkan pekerjaan baru atau setidak-tidaknya saya kenal, nulis (dan dapet honor) dari Mojok.

Di medsos saya membuka mata (lah iya emang ada orang lain yang bukain?) kalau dunia enggak sesempit kosan ketika masa kuliah.

Saya dapat melihat perkembangan-perkembangan dunia lewat sosial media. Mulai dari yang paling serius seperti mas Agus Mulyadi yang sambat karena MU yang tak kunjung juara, Teori-teori konspirasi (dan kontrasepsi) seputar COVID-19 yang tidak kujung reda, sampai hal yang remeh-remeh seperti life hacks saat boker tanpa smartphone.

“EUREKA! inilah kemajuan peradaban” Seru saya seperti anak yang paling paham soal skena.

Dari sosial media, saya juga akhirnya bisa membuat teori. Dengan jurus otak-atik gathuk saya berteori. bahwasanya di media sosial setiap orang ingin jadi yang paling. Kalau hidup anda biasa-biasa saja, carilah titik di mana Anda menjadi si paling, atau sebaliknya, berbahagialah Anda, karena dengan hidup yang biasa-biasa saja sehingga Anda tak perlu menghabiskan waktu untuk memoles diri menjadi bintang.

Jika Anda ingin memiliki identitas diri, lihatlah kemana arah tren sedang bergulir dan jadilah seperti tren tersebut. Atau sebaliknya, refleksi hidup Anda adalah tentang diri Anda, tentang bahagia Anda, tentang luka Anda, tentang kelebihan Anda, tentang diri Anda, maka jadilah diri Anda sendiri apa-adanya. Media sosial hanyalah tempat Anda membuka mata bahwa di luar sana, ada identitas-identitas yang berbeda dengan Anda, bahwa Anda bukanlah satu-satunya dan tak apa menjadi yang berbeda.

Siapa pula yang pertama kali menyatakan bahwa dunia sosial media adalah standar kebahagiaan? Embuh.

--

--